Seberapa aware kamu terhadap kesehatan mental?
Bertahun-tahun lalu semenjak SMA, saya sudah menyadari ada sesuatu dalam diri yang harus saya perbaiki dengan bantuan ahli, tapi saat itu saya belum memiliki keberanian dan memilih menyimpannya sendiri.
Sampai saya dapat kesempatan untuk kuliah di jurusan Psikologi. Jujur, jurusan ini bukanlah favorit saya saat itu. Lebih tepatnya ortu yang memilih jurusan ini untuk saya karena kakak saya juga mengambil jurusan Psikologi.
Saya sendiri lebih tertarik dengan Hubungan Internasional atau Sastra Inggris karena memang saya sangat tertarik dengan Bahasa Inggris. Namun, pada akhirnya saya tidak menyesal dengan keputusan ini. Belajar ilmu Psikologi membuat saya belajar tentang diri saya sendiri dan juga orang lain.
Kalau kata orang, saya kuliah sambil berobat jalan.
Apakah semua membaik setelah saya kuliah jurusan Psikologi?
Ada beberapa bagian diri saya yang mengalami perubahan. Saya lebih berani untuk tampil di depan umum, setelah sebelumnya saya lebih suka berada dibelakang layar sebagai sebagai penyumbang ide. Saya merasa bisa beradaptasi saat berada di lingkungan baru, bertemu dengan orang-orang baru.
Saya belajar mengeluarkan opini dan pendapat melalui tulisan di blog yang saya kelola. Bagi saya itu sebuah pencapaian besar, di mana saya ingin orang lain memandang saya lebih positif.
Hal lain yang paling berpengaruh adalah penerimaan diri saya terhadap sakit jantung yang saya derita. Seutuhnya saya menerima bahwa ini takdir Allah yang harus saya terima dan jalani dengan baik. Bahkan, saya mulai membuat tulisan tentang topik ini untuk dibagikan di website pribadi. Alhamdulillah, responnya cukup positif.
Ketika Saya Pada Akhirnya Menemui Psikolog
Saya pikir, semuanya akan baik-baik saja.
Setahun belakangan, beberapa kali dalam sebulan saya merasa tidak baik-baik saja. Menangis tiba-tiba hanya karena melihat sebuah video anak anjing yang ditinggal tuannya, atau bersedih hanya karena membaca pesan dari seseorang yang saya kenal, tapi saya nggak paham maksudnya.
Sebenarnya, saya merupakan pribadi yang sensitif. Mudah tersentuh akan hal-hal yang menimbulkan kesedihan, tapi perasaan ini berbeda dengan rasa sensitif yang biasa saya rasakan sehari-hari. Mood saya bisa berubah menjadi tidak baik, mudah menangis, dan tersinggung.
Jujur, ada masa di mana saya lelah menangis seharian tanpa sebab atau bahkan belakangan pikiran saya riuh dengan berbagai skenario yang saya kreasikan sendiri. Imbasnya saya kehilangan gairah melakukan hal-hal yang dulu menjadi favorit. Saya lebih banyak gelundungan di kasur, nggak tahu harus ngapain. Padahal list ide buat blogpost saya bertambah setiap hari.
Setiap hari rasanya berat, ada kalanya saya baik-baik saja dan mampu melawannya dengan pengalihan seperti membaca buku, menulis jurnal atau bahkan mencari ide di pinterest. Ada satu masa, hari itu benar-benar kelabu seolah-olah saya adalah sumber kesalahan dari apa yang terjadi di rumah.
Ya, saya menyadari bahwa saya tidak baik-baik saja.
Untuk kali pertama saya memberanikan diri menemui Psikolog. Seharusnya sudah sejak dulu, tapi saya sering merasa mampu untuk mengatasinya sendiri. Kenyataannya tidak. Saya butuh bantuan ahli.
“Kamu lulusan Psikologi kok ke Psikolog?
Itu reaksi dari salah satu orang terdekat saya. Dengan tersenyum saya bilang, “ Dokter saja butuh Dokter lain untuk mengobatinya. Kenapa saya nggak boleh?”
Hari itu menjadi sebuah pencapaian terbesar bagi saya setelah berpuluh-puluh tahun untuk menyadari tentang diri sendiri. Dari sesi konseling, saya banyak belajar bahwa keinginan untuk berubah itu harus dimulai dari diri sendiri. Sebanyak apapun terapi yang kamu lakukan, tapi kalau dirimu tidak ingin. Ya, nggak bisa.
Kuncinya konsisten dan sabar.
Sebuah pesan bagus dari Psikolog sebelum mengakhiri sesi, “Tempatkan kebahagiaanmu dibarisan paling depan, sebelum kamu membaginya kepada orang lain. Menyenangkan diri sendiri itu tidak selamanya disebut egois.”
Pulang dari sesi konseling, saya memang menyadari adakalanya terlalu keras kepada diri sendiri. Selalu menempatkan orang lain paling depan dan lupa akan kebutuhan sendiri. Ingin rasanya memeluk diri sendiri dan meminta maaf bahwa selama ini membiarkannya kesepian.
Saya tahu perjuangan saya untuk mengenal kembali diri masih panjang. Setidaknya saya sudah berani melangkah, pelan-pelan saja karena memang butuh waktu. Belajar memvalidasi semua emosi yang selama ini tersimpan karena takut akan reaksi orang lain.
Upaya saya tidak berhenti di situ saja. Saya kembali meluangkan waktu untuk membaca buku demi menambah wawasan, menulis jurnal kembali dan melakukan olahraga ringan sebagai upaya menjaga kesehatan mental.
Dear diriku,
Mari kita bertumbuh bersama.
Dear diriku,
Mari kita bertumbuh bersama.
Baca juga:
Komentar
Posting Komentar